KARAKTERISTIK STUDI ISLAM
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu: Rikza Chamami, M. Si
Disusun Oleh:
Zulastri (133911033)
Intan Khumairoh (133911039)
Nurul Jannah (133211041)
Hanif Mariatmoko (133211042)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Islam memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam
memandang bahwa pendidikan hak bagi setiap orang (Education for All) dan
berlangsung sepanjang hayat (Long life Education). Karakteristik berasal
dari bahasa inggris, character yang berarti watak, karakter, dan sifat.
Selanjutnya kata ini menjadi characteristic yang berarti sifat khas yang
membedakan antara satu dengan yang lainnya. Dalam bahasa Indonesia character
berarti sifat yaitu rupa atau keadaan yang tampak pada suatu benda, atau kata
yang menyatakan keadaan sesuatu seperti panjang, keras, dan besar.
Studi Islam secara bahasa merupakan terjemahan dari bahsa Arab Dirasah
Islamiyyah. Studi Islam adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan
keislaman. Studi Islam dalam hal ini yaitu kajian secara sistematis dan terpadu
untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang
berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam,
pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaanya dalam
kehidupan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi al-Qur’an?
2.
Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hadis?
3.
Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hukum Islam?
4.
Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Sejarah Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik Studi Islam dalam Studi Al-Qur’an
Al-Qur’an diyakini
tetap terpelihara seluruh isinya sepanjang zaman. Pemeliharaan ini dijamin
Allah SWT dengan cara: Pertama, bahwa susunan ayat dan surat-suratnya
walaupun mencapai lebih dari 6.000 ayat tetapi dapat dihafal bukan hanya oleh
yang dapat melihat, melainkan juga tunanetra, bahkan anak di bawah umur.
Melalui mereka yang diberikan kemudahan oleh Allah SWT ini, al-Qur’an akan
terjaga. Hal ini menunjukka bahwa susunan ayat dan surat Qur’an tersebut
mengandung keistimewaan dan makdus-maksud tertentu, antara lain untuk dihafal.
Sifat susunan ayat dan surat al-Qur’an yang demikian tidak terjadi pada kitab
suci lainnya. Kedua, bahwa lafal-lafalnya bersifat mukjizat, yakni
selain tidak mungkin dapat dipalsukan, juga tidak dapat ditandingi manusia.
Pada saat
al-Qur’an diturunkan, Rasul SAW yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan kepada para sahabat tentang arti dan kandungan
al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar
artinya. Setelah Rasul SAW wafat, para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami
al-Qur’an khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib,
Ibn Abbas, Ubay buin Kaab, dan Ibn Mas’ud.[1]
Seiring berjalannya waktu, maka muncullah para ulama yang mencoba memberikan
rambu-rambu atau standar prosedur yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin
menafsirkan al-Qur’an. Para ulama itu menyusun apa yang disebut sebagai
ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum Al-Qur’an). Ilmu bantu untuk memahami
al-Qur’an antara lain Ulum al-Qur’an dan Ilmu Tafsir.
1.
Ulum al-Qur’an
Secara Etimologis, Ulum al-Qur’an adalah susunan Idhafah yang
terdiri dari kata ulum dan al-Qur’an yang berarti ilmu-ilmu
al-Qur’an. Sedangkan secara Terminologi definisi Ulum al-Qur’an sangat
bervariatif, tergantung dari aspek-aspek pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an yang
ingin dimasukkan dalam definisinya itu. Menurut Manna’ al-Qathan, ilmu
al-Qur’an adalah ilmu yang berkaitan dengan pembahasan yang berkenaan dengan
al-Qur’an cari segi sebab-sebab turunnya, pengumpulan dan susunannya, mengenai
ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah, ayat yang nasikh (yang menghapus) dan yang
mansukh (yang dihapus), al- Muhkam (ayat yang tegas dan jelas), al-Mutasyabih
(ayat yang tidak tegas dan tidak jelas), dan lainnya yang berkaitan dengan
al-Qur’an.
Al-Zarqani dalam Manahil
al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefisikan Ulum al-Quran sebagai:
مباحث تتعلق بالقرأن الكريم من
ناحية نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته وقرأته وتفسيره و إعجازه و ناسحه ومنسوححه
ودفع ااشبهة عنه و نحو ذلك
“Pembahasan-pembahasan
masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an al-Karim dari segi turunnya,
urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukzijatnya, nasikh
dan mansukhnya, dan penolakan/ bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan
keragu-raguan terhadap al-Qur’an dan lain sebagainya”.
Dari
definisi-definisi Ulum al-Qur’an diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Ulum
al-Qur’an adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencangkup semua ilmu yang ada
hubungannya dengan al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir,
maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rab al-Qur’an. Ulum
al-Qur’an berbeda dengan suatu ilmu yang merupakan cabang dari Ulum
al-Qur’an. Misalnya ilmu tafsir yang menitikberatkan pembahasannya pada
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Ilmu Qira’at menitikberatkan
pembahasannya pada cara membaca lafal-lafal al-Qur’an. Sedang Ulum al-Qur’an
membahas al-Qur’an dari segala segi
yang ada relevansinya dengan al-Qur’an.[2]
2.
Ilmu Tafsir
Kata Tafsir diambil dari kata Fassara-Yufassiru-Tafsira yang
berarti keterangan atau uraian.[3]
Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa Arab adalah al-Kasf
wa al-Izhhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pada
masa penyusunan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dimulai sejak permulaan abad ke II H,
para ulama memberikan prioritas menyusun tafsir, sebab tafsir adalah Ummul
al-Qur’aniyah (Induk ilmu-ilmu al-Qur’an).[4]
Diantara Ulama abad II H yang menyusun tafsir adalah:
a)
Syu’bah bin al-Hajjaj ( wafat tahun 160 H).
b)
Sufyan bin ‘Uyainah (wafat tahun 198 H).
c)
Waki’ bin al-Jonah (wafat tahun 197 H).
Tafsir mereka
umumnya berisikan aqwal al-shahabah dan pendapat-pendapatt dari kalangan
tabiin. Kemudian menyusul Ibnu Jarir al-Thabary (wafat 310 H). tafsir
al-Thabary diakui sebagai kitab tafsir yang terbesar pada zamannya dan paling
tinggi nilainya. Tafsir al-Thabary didalmnya dikemukakan oleh pengarangnya
pendapat yang berbeda-beda dan ditunjukkannya satu pendapat yangf terpilih,
disertai keterangan riwayat-riwayat (sumber-sumber) yang benar dan tersusun
rapi, di lengkapi penjelasan-penjelasan I’rab dan hukum-hukum al-Qur’an yang
dapat diistinbathkan.
Dari
perkembangan kitb-kitab tafsir, sejak dimulai usaha penyusunan tafsir-tafsir
al-Qur’an, sejak permulaan abad II H sampai sekarang, kita dapat mengetahui
bahwa disamping ada ulama-ulama yang menafsirkan al-Qur’an dengan pola tafsir
riwayah atau bi al-Manqul, ada yang menafsirkannya dengan pola tafsir
dirayah atau bi al-Ra’yi bi al-Ma’qul. Demikian pula ada ulama yang
menafsirkan al-Qur’an seluruhnya, ada yang menafsirkan satu juz atau satu surat
saja, atau hanya tema-tema tertentu, misalnya ayat ahkam dan sebagainya.
B.
Karakteristik Studi Islam dalam Studi Hadis
Kedudukan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain
didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits juga didasarkan
kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan
tentang wajib mengikuti Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun
setelah beliau wafat.
Dari sudut etimologi, hadits secara umum berarti
sesuatu yang baru (al-jadid), lawan dari sesuatu yang lama (al-qadim).
Secara terminologis Para ahli hadits mangartikan hadits sebagai adalah segala
sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan,
penetapan, sifat atau perilaku, perjalanan hidup, baik sebelum menjadi Nabi
atau sesudahnya.[5]
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang
dibiasakan, terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk.
Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna Hadits Nabi yang artinya:
”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi
yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya dan barang
siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang
buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya”.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan
para ulama ahli Hadits mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadits, Al-Khabar dan Al-Atsar
sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik
dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul
mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad
dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan
hukum.[6]
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Al Qur’an,
Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya
sejalan dengan Al Qur’an. Diantara fungsi hadits yaitu:
1.
Menetapkan
dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an.
2.
Menginterpretasi
ayat-ayat al-Qur’an yang global (garis besar) yang memerlukan perincian.
3.
Mengkhususkan
terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (menyeluruh).
4.
Menetapkan
aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-Qur’an.[7]
Secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah
dan Ilmu Hadits Dirayah. Kedua macam ilmu ini akan dijelaskan dibawah ini:
1.
Ilmu Hadits Riwayah
Adalah ilmu yang difungsikan pada upaya penukilan (penerimaan) yang teliti
dan cermat terhadap semua yang bersumber dari Nabi berupa ucapan, perbuatan,
taqrir, dan sifat-sifatnya, serta semua yang besumber dari sahabat dan tabi’in.[8]
2. Ilmu Hadits Dirayah
Adalah bagian dari
ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad,
matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan
lain-lain. Definisi ini sesuai dengan makna kata dirayah yang secara bahasa
berarti pengetahuan dan pengenalan. Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk
mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul) dan ditolak (mardud) nya suatu
hadits.
Berikut ini ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan Hadits;
1.
Ilmu Rijal
al-Hadits
Ilmu ini
sangat penting kedudukanya dalam lapangan ilmu Hadits. Hal ini karena,
sebagaimana diketahui bahwa obyek kajian Hadits pada dasarnya ada dua hal,
yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal ini lahir bersama-sama dengan periwayatan Hadits
dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan
disekitar sanad.
Di antara
kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat
adalah karya Muhammad ibn Sa’ad (w 9.230 H) yaitu Thabaqat Al-Kubra dan karya
Khalifah ibn Ashfari (w 240 H) yaitu Thaqabat Al-Ruwwah, dan lain-lain.
2.
Ilmu al-Jarh
wa at-Ta’dil
Ilmu
Al-Jarh, yang secara bahasa berarti “luka, cela, atau cacat”, adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan
kedhabitanya. Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui
melalui dua jalan, yaitu:
a.
Popularitas para perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal
sebagai seorang yang adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang sudah
terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilanya, maka mereka tidak perlu lagi
diperbincangkan keadilanya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan
kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b. Berdasarkan
pujian atau pen-tajrih-an dari rawi yang lain yang adil. Bila seorang rawi yang
adil menta’dilkan seorang rawi lain yang belum terkenal keadilanya, maka telah
dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatanya
bisa diterima.
3.
Ilmu Tarikh
ar-Ruwah
Ilmu tarikh
ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadits yang berkaitan dengan
usaha periwayatan mereka terhadap Hadits. Dengan ilmu ini akan diketahui
keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahiranya, wafatnya, guru-gurunya,
siapa orang yang meriwayatkan Hadits
darinya, dan lain-lain.
Sebagian
dari ilmu Rijal Hadits, ilmu ini mengkususkan pembahasanya secara mendalam pada
sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Jadi ilmu
tarikh ar-ruwah ini merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi
yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.
4.
Ilmu I’lal
al-Hadits
Kata ‘ilal
adalah bentuk jamak dari kata al-‘illah, yang menurut bahasa berarti al-maradh
(penyakit atau sakit). Jadi I’lal hadits adala ilmu yang membahas
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.
5.
Ilmu an-Nasikh wa al-Masukh
Yang
dimaksud dengan ilmu al-nasikh wa al-masukh disini, adalah terbatas disekitar
nasikh dan mansukh pada Hadits. Kata al-naskh menurut bahasa mempunyai dua
pengertian, al-izalah (menghilangkan.
Mengetahui
ilmu ini sangat penting dalam ilmu Hadits ini. Bahkan menurut Al-Zuhri, ilmu
inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha. Hal ini karena
tigkat kesulitanya yang tinggi, terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari
nas yang samar-samar. Untuk mengetahui
nasakh dan mansukh ini bisa melakukan beberapa cara, seperti:
a.
Dengan
penjelasan dari nash syari’ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul SAW.
b.
Dengan
penjelasan dari para sahabat.
c.
Dengan
mengetahui tarikh keluarnya Hadits serta sebab wurud Hadits. Dengan demikian
akan diketahui mana yang datang lebih dulu mana yang datang kemudian.
6.
Ilmu Asbab
Wurud al-Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan
sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya.
7.
Ilmu Garib
al-Hadits
Menurut Ibnu
Al-Shalah, yang dimaksud dengan Gharib Al-Hadits ialah ungkapan dari
lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan
Hadits karena (lafazh tersebut) jarang digunakan.
Memahami
makna kosa kata (mufradat) matan Hadits merupakan langkah pertama dalam
memahami suatu Hadits dan untuk istinbath hukum. Oleh karena itu ilmu ini akan
banyak menolong untuk menuju ke pemahaman tersebut. Ada beberapa cara untuk menafsirkan
Hadits-Hadits yang mengandung lafazh yang gharib ini, di antaranya:
a.
Dengan Hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung lafazh
gharib tersebut.
b. Dengan
penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan Hadits atau sahabat lain yang
tidak meriwayatkanya, tapi paham akan makna gharib tersebut.
c.
Penjelasan dari rawi selain sahabat.
8.
Ilmu
at-Tashif wa at-Tahrif
Ilmu
at-Tashif wa at-tahrij, adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan
tentang Hadits-Hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan
bentuknya (muharraf).
Al-Hafidz
ibn Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian yaitu ilmu al-tashif dan ilmu
al-tahrif. Sedangkan ibn Shalah dan para pengikutnya menggabungkan kedua ilmu
ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin ilmu yang
bernilai tinggi, yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffazh).
Hal ini disebabkan, karena dalam hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan
bacaan dan pendengaran yang diterimanya dari orang lain.
Suatu
contoh, dalam suatu riwayat yang disebutkan bahwa salah seorang yang
meriwayatkan Hadits dari Nabi SAW, dari bani Sulaimah adalah “Utbah ibn
Al-Bazir, padahal yang sebenarnya adalah “Utbah bin Al-Nazhr”. Dalam Hadits ini
terjadi perubahan sebutan Al-Nazhr menjadi Al-Bazr.
9.
Ilmu Talfiq
al-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang
cara mengumpulkan antara hadits yang berlawanan lahirnya.
10.
Ilmu Mushtalah wa al-Hadits,
Yaitu ilmu
yang membahas tentang berbagai istilah yang digunakan para ahli hadits dan yang
dikenal dikalangan mereka.[9]
- Karakteristik Studi Islam dalam Studi
Hukum Islam
a.
Bentuk-bentuk Studi Hukum Islam
Mengacu kepada gejala studi Islam pada
umumnya, maka hukum Islam juga dapat dipandang sebagai gejala budaya dan
sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala
budaya,sedangkan interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan
masyarakat non-muslim disekitar hukum Islam adalah gejala sosial. Secara
terperinci Atho’ Mudzhar membedakan studi hukum Islam sebagai berikut:[10]
1. Penelitian Hukum Islam sebagai doktrin asaz,
Dalam
penelitian ini sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual hukum Islam
seperti masalah-masalah filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep maqashid
al-shari’ah, qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-istinbat, konsep qiyas, konsep ‘am
dan khas, konsep nasikh dan mansukh dan lain-lain.
2. Penelitian Hukum Islam Normatif
Dalam
penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan,
baik yang masih dalam bentuk nas maupun yang sudah menjadi produk pemikiran
manusia (Mudzhar, 2000: 30). Aturan yang masih dalam bentuk nash meliputi
ayat-ayat ahkam dan hadith-hadith ahkam, sedangkan kitab-kitab fiqih
perbandingan, keputusan peradilan, undang-undang, fatwa ulama, dan bentuk aturan
lainnya yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), konstitusu (dustur),
kodifikasi, perjanjian-perjanjian Internasional, deklarasi hak-hak manusia,
surat-surat kontrak, surat wasiat, kesaksian, dan sebagainya (Mudzhar, 1998:
91-93).
3. Penelitian Hukum Islam sebagai gejala
sosial
Sasaran utama dari
penelitian ini adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan masalah-masalah
interaksi antar sesama manusia, baik antara sesama muslim atau antara muslim
dan non muslim di sekitar masalah-masalah hukum ini mencakup masalah-masalah
politik (siyasah), perumusan dan penetapan hukum (siyasah al-shar’iyah),
perilaku penegak hukum (qadhi), mujtahid, fuqaha, mufti dan lain-lain (Mudzhar,
2000: 30-35).
Hukum Islam dapat dipahami sebagai
hukum asas, hukum normatif, dan sebagai hukum sosiologis.Karena itu pendekatan
sosiologis dapat diterapkan dalm studi-studi hukum Islam seperti pada studi
hukum Islam pada umumnya. Pendekatan sosiologis dalam hukum Islam mempunyai
sasaran utama perilaku masyarakat atau interaksi antar sesama manusia, baik
antara sesama mmuslim maupun antaea muslim dan non muslim disekitar
masalah-masalah hukum Islam.
b. Cara Memahami Sumber Hukum Islam
Sebenarnya dalam Al-quran ataupun
Al-sunah sudah disebutkan mengenai tertib urutan pemakaian beberapa sumber dan
dalil hukum yang ada, seperti disebutkan dalam Al-quran.
“wahai
orang-orang yang beriman ta’atlah kamu semua kepada Allah, dan ta’atlah kepada
rasul urusan Allah, dan orang yang menguasai urusan diantara kamu. Seandainya
ada perselisihan diantara kamu tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rosulnya, jika kamu semua beriman kepada Allah dan hari akhir, hal demikian
lebih baik bagimu dan lebih akibatnya.”
Dalil ini ditopang dengan hadits Nabi yang mengutus
Mu’adz bin Jabal ke Yaman, dengan kesimpulan bahwa Mu’adz memutuskan perkara
pertama kepada Al-quran, selanjutnya dengan As-sunah, kalau tidak ada dalam
sunah Rosul, maka Mu’adz akan berijtihad dengan nalarnya. Untuk itu dapat
diambil pemahaman bahwa dalam mencari fiqih seorang mujtahid akan memahami nas
Al-quran atau Al-sunah, kemudian kalau tidak ada dalam keduanya mereka akan
berijtihad dengan berbagai metode yang beragam mulai dengan ijma’, qiyas yang
dalam katagori adilah al-ahkam. Untuk
itu munculah istilah ijtihad, istidlal,
istiqra’ dan sebagainya dalam rangka mencari pemahaman status hukum dari
sebuah persoalan yang ditemui sehingga pada akhirnya akan menghasilkan fiqih.
Ilmu itu pada hakikatnya adalah dari
Allah dan manusia diberi alat untuk mengetahuinya yakni akal dan indera. Al-Shatibi
mengelompokkan empat bentuk pola pikir dalm memenuhi Nas, yaitu;[11]
a.
Pola pikir Zahiriyah
Mazhab
ini dibidani oleh Dawud bin Ali Khalaf al-Asbahani al-Zahiri. Ia lahir di Kufah
tahun 202 H dan wakaf di Baghdad tahun 270 H, dalm usia 68tahun. Menurut pola
pikir kaum tekstualis maksud shara’ hanya
dapat diketahui dari lafadz teks sebagaimana apa yang tersurat. Alasannya
maksud shara’yang tertuang dalam
redaksi nash menurut mereka masih misterius tanpa ada penjelasan dari nas itu
sendiri. Untuk itu melalui firman-firman yang tertuang itulah kita dapat
memahami nas.Berhubung kaum zahiriyah hanya berpegang pada lahirnya nas, maka
tidak memerlukan bantuan pemahaman diluar nas didalam menetapkan hukum.
b.
Pola Pikir Batiniyah
Pola
pikir batiniyah ini, sangat liberal dan tidak menggunakan kaidah umum
sebagaimana yang terkandung dalam kajian ilmu usul al-fiqh.Seperti dalam
penafsiran al-Quran begitu liberal dan batiniyah, tidak ada aturan apapun
kecuali kehendak mereka. Kata kafir mereka artikan orang yang ingkar kepada ali
bin abi thalib, taharat diartikan mengambil sesuatu yang diizinkan oleh imam,
puasa berarti tidak membuka rahasia.
Karena
corak tafsiran kaum batiniyah yang begitu liberal, tanpa menggunakan kaidah
apapun layaknya para mufasirun,
takwilannya merusak al-Quran. Untuk itu menurut mereka segala persoalan hukum dapat
ditemukan dalm ketiga sumber hukum yaitu al-Quran, al-Sunah dan ketiga adalah
fatqwa imam mereka yang maksum.
c.
Pola Pikir Kontekstual
Pola
pikir kontekstual menurut al-Shatibi adalah kaum al-muta’amiqin fi al-qiyas
(kelompok yang amat gemar melakukan qiyas dan analogi).kelompok ini lebih
memprioritaskan makna lafadz dari pada lafadz itu sendiri. Doktrin yang mereka
ajukan dalam memahami nash adalah mencari makna diseberang teks selagi hasil
yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks tersebut, kecuali teks-teks
tersebut bersifat mutlak. Sedangkan yang dimaksud mutlak lafadz adalah lafadz
yang menunjukkan kesatuan makna yang utuh. Jika ada pertentangan teksnas dengan
makna teks atas dasar nazariyah, kolompok
kontekstualisme akan mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan demi
tegaknya kemaslahatan, atau mencari makna baru karena tak kewajiban bagi
mujtahid untuk tertahan pada pengambilan maksud nas secara tekstual. Hukum
Allah itu ditegakkan karena adanya illat atau kemaslahatan bagi umat manusia.
d. Gabungan
Antara Tekstualis dan Kontekstualisme
Al-Shatibi
menyatakan bahwa golongan pola pikir gabungan antara tekstualis dan
kontekstualis merupakan golongan yang benar-benar matang intelektualisnya
(rasikhun) dalam mengetahui maksud shara’.Ia sendiri menyatakan bahwa dirinya
masuk golongan ini. Mereka menggabungkan antara yang tersurat dan tersirat dari
makna teks adalah tidak bertentangan.Metode yang dikembangkan kelompok ini sama
dengan kelompok kontekstulis yang salah satuwujud nyatanya adalah al-mutaamiqin
fi al-qiyas dan zahiriyah dengan pendirian bahwwa shara’ (Tuhan dan Rosul) di
dalam menshari’atkan hukum, apakah berhubungan dengan masalah adat atau
istiadat, masing-masing mempunyai maksud yang asli (asliyat) dan maksud yang
mendampinginya (tab’iyat).
Dari beberapa kajian dapat diambil
beberapa pemahaman terhadap hukum islam, yaitu;
Ø Sumber hukum yang pertama adalah
al-quran dan al-sunah, kedua adalah ijtihad yang digunakan oleh para ahli hukum
yang memahami beberapa dalil hukum yang terdiri dari ijma’, qiyas, maslaha,
istihsan, istishab dan lain sebagainya
Ø Cara kerja ilmu fiqih adalah menggali
fiqih (hukum) dari sumbernya (al-Quran dan al-Sunah) kemudian kalau tidak ada
maka akan ijtihad menggunakan dalil. Hanya saja para ahli usul berbeda-beda
dalam pemahamannya.
Ø Hasil penalaran ilmu fiqh menghasilkan
berbagai macam aturan yang dapat mengatur kehidupan orang islam.
- Karakteristik Studi Islam dalam Studi
Sejarah Islam
Terdapat berbagai teori yang
menjelaskan tentang asal usul kata sejarah. Sebagian ada yang berpendapat,
bahwa kata sejarah berasal dari bahasa arab “sajarah” yang berarti
pohon. [12]Sejarah
adalah terjemahan dari kata tarikh (bahasa arab), sirah (bahasa
arab), history (bahasa inggris), dan geschichte (bahasa Jerman).
Semua Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu istoria berarti
ilmu. [13]
Sedangkan secara terminologis banyak
definisi tentang sejarah. Ibnu Khaldul misalkan menyatakan bahwa “sejarah ialah
menunjuk kepada peristiwa-peristiwa istimewa atau penting pada waktu dan ras
tertentu”. Sementara Al Maqrizi membatasi “sejarah” ialah memberikan informasi
tentang suatu yang pernah terjadi di dunia.[14]
Selanjutnya kata Islam yang terdapat
di belakang kata sejarah dapat mengandung beberapa pengertian. Pertama,
mengandung arti segala sesuatu yang berkaitan dengan dengan Islam, yaitu
ajaran, umat, kemajuan dan kemunduran, peran dan fungsi dan lain sebagainya.
Kedua, mengandung arti sifat atau nilai yang harus berpegang teguh dalam
mengkonstrusikan sejarah, yakni nilai kebenaran, kejujuran dan kegunaan,
sebagaimana terdapat di dalam ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ketiga Pengertian
tersebut dalam tulisan ini sama-sama digunakan yakni selain mengemukakan
berbagai hal yang berkaitan dengan ajaran Islam, Juga berpegang teguh pada
nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian, Sejarah Islam dapat diartikan suatu
upaya merekonstruksi perisriwa masa lalu secara komperhensif dan sistematis
dengan menggunakan pendekatan dan teori tertentu dengan berdasarkan pada
nilai-nilai ajaran Islam.[15]
1.
Periodisasi Sejarah
Menurut Harun nasution, bahwa
sejarah Islam dapat dibagi ke dalam periode Klasik, Pertengahan, dan Modern.
Masing-masing periode tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Periode Klasik (650-1250 M)
Pada periode klasik (650-1250) ini dibagi masa kemajuan Islam I dan
Dissintegrasi.
a)
Masa Kemajuan Islam I (650-1000M)
Perkembangan Islam Klasik ditandai
dengan perluasan wilayah. Ketika tinggal
di Mekkah, Nabi Muhammada SAW dan para pengikutnya yang mendapat tekanan dari
kalangan Quraisy yang tidak setuju terhadap ajaran yang di bawa Nabi Muhammad
SAW. Karena tekanan itu, Nabi Muhammad SAW terpaksa mengirim sejumlah
pengikutnya ke Abesinia yang beragama
Kristen Koptis untuk mendapatkan suaka. Itulah fase Mekkah yang membuat Nabi
SAW bertahan di Mekkah atas dukungan keluarga. [16]
Pada tahun 620M, Nabi muhammad SAW
membuat persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka yang
membuat ia dan pengikutnya diterima dikalangan mereka. Di madinah, umat Islam,
dikelompokkan menjadi dua: (1) umat Islam yang berasal dari Mekkah dan ikut
berpindah ke Yatsrib, yang disebut Mihajirin dan (2) umat Islam yang
berasal dari Madinah, yang menerima kedatangan umat Islam dari mekkah disebut Anshar.
Peristiwa hijrah ditaggapi dengan berbagai pengikutnya. Setelah kedudukan Islam
di Madinah menjadi kuat, umat Islam menentukan langkah berikutnya yaitu
menaklukkan Mekah setelah sebelumnya melakukan perundingan yang hampir tanpa
kekerasan (630M).
Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal
kemudian yang memerintah daulat Islamiyah adalah Khulafaur Rasyidin, bani
Umayyah dan Abbas. Khulafaur Rasidin berkuasa mulai tahun 632-661M, atau kurang
lebih selama 29 tahun, Bani Umayyah berkuasa mulai tahun 661 sampai dengan 750
M, atau kurang lebih selama 90 tahun, dan bani Abbas berkuasa mulai tahun
750-1250 M atau selama 500 tahun. Dengan demikian, masa klasik ini jika
dijumlahkan berlngsung selama 600 tahun atau sekitar 6 abad.[17]
Para Khulafaur Rasyidin adalah Abu
Bakar al- Shiddiq berkuasa selama kurang lebih dua tahun, yakni dari tahun
632-634 M, dilanjutkan oleh Umar Ibn Khattab yang berkuasa selama 10 tahun,
yakni dari tahun 634-644 M, diteruskan oleh Usman bin Affan yang berkuasa
selama 12 tahun, yakni dari tahun 644-656 M, dan Ali bin Abi thalib yang
berkuasa selama kurang lebih lima tahun, yaitu dari tahun 656-661 M. Dengan
demikian masa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun.
Akhir kekuasaan khulafaur Rasyidin
ditandai dengan terpecahnya umat Islam menjadi dua kubu besar yaitu pendukung
Ali bin Abi thalib dan pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan yang ketika itu
berkedudukan sebagai Gubernur Suriah.
b)
Masa Disintegrasi ( 1000-1250 M)
Menurut Harun Nasution, bahwa
disintegrasi dalam arti perpecahan politik dan sulitnya mempersatukan dunia
Islam yang demikian luas dalam sebuab pemerintahan yang berpusat di Baghdad,
sesungguhnya sudah mulai terjadi pada akhir zaman bani umayyah, namun memuncak
di zaman bani Abbas, terutama aetelah khalifah-khalifah menjadi boneka dalam
tangan tentara-tentara pengawal.
Selanjutnya disintegrasi di bidang
politik ditandai dengan adanya keinginan wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota
negara, yaitu Baghdad, untuk melepaskan diri. Dinasti-dinasti kecil sebenarnya
sudah ada sejak abad IX M. Diantaranya Dinasti Samani (874-999M) di
Transoxania, Dinasti Thahiri (820-872M) di Khurasan, Dinasti Thulun di Mesir,
Dinasti Aghlabi (800-969M) di Tunisia, dan Dinasti Idrisi (788-974M) di Maroko.
Munculnya keinginan daerah-daerah itu untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Baghdad karena khalifah di Baghdad dibawah kendali Dinasti lain, yaitu dibawah
Dinasti Buwaihi (945-1055M) dan Saljuk (1055-1199M). Disamping itu, Dinasti
Fatimiah (909-1171). Yang beraliran Syi’ah di Mesir mengambil bentuk khilafah
yang menjadi saingan Dinasti Bani Abbas di Baghdad. [18]
Disintegrasi mencapai klimaksnya
dengan jatuhnya Dinasti Bani Abbas di Baghdad ke tangan Mongol yang di pimpin
oleh Hulagu Khan pada tahun 1258. [19]
b.
Periode Pertengahan
Periode ini dapat pula dibagi
kedalam dua masa, yaitu Masa kemunduran I dan Masa Tiga Kerajaan Besar.[20]
a)
Masa Kemunduran I (1250-1500M)
Kemunduran umat Islam pada zaman
pertengahan diawali dengan kehancuran Baghdad oleh Hulagu Khan (cucu Jengis
Khan). Dari Baghdad, ia meneruskan serangan ke Suria dan Mesir. Tetapi di Mesir
ia berhasil dipukul mundur oleh Baybars, jenderal Mamluk di Ain Jalut. Baghdad
selanjutnya diperintah oleh Dinasti Ilkhan (gelar bagi Hulagu Khan)
Di Mesir, dinasti yang berkuasa
silih berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai dari Dinasti Fatimiah, yang
beraliran Syiah, digantikan oleh Dinasti Ayubiah yang beraliran Sunni. Ayubiah
di Mesir berakhir tahun 1250, digantikan oleh Dinasti Mamluk sampai tahun 1517.
Perpecahan juga terjadi di antara
para pengikut madzhab fikih. Para ulama pengikut madzhab disibukkan dengan
kegiatan pembelaan dan penguatan madzhab yang dianutnya, bahkan cenderung
beranggapan bahwa madzhabnyalah yang paling benar. Hal ini mendorong semakin
turunnya ijtihad dan akhirnya meninggalkan ijtihad. Akhirnya, fikih tidak
berkembang. Yang berkembang adalah budaya ittiba’ dan taqlid.
b)
Tiga Kerajaan Besar (1500-1800M)
Ini berlangsung selama 300 tahun.
Kerajaan itu adalah Kerajaan Turki Utsmani di Turki (1290-1924), Kerajaan
Safawi di Persia (1501-1736), dan Kerajaan Mughal di India (1526-1858).
Berbeda dengan kemajuan Islam yang
pertama sebagaimana sebagaimana yang terjadi di zaman Klasik, adalah bahwa
kemajuan Islam kedua ini, Barat mulai bangkit terutama setelah terbukanya jalan
ke pusat rempah-rempah dan bahan-bahan mentah di Timur Jauh, melalui Afrika
Selatan dan ditemukannya Benua Amerika oleh Colombus (1492M). Namun demikian,
kekuatan Barat dan Eropa lebih kuat dibandingkan kekuatan Islam. Hal ini berbeda sekali dengan Kemajuan Islam
I, dimana Barat dan Eropa belum bangkit sama sekali sehingga Kemajuan Islam II
ini sudah mulai mendapat tantangan dari kemajuan Barat dan Eropa.[21]
c.
Periode Modern (Sejak 1800 M)
Periode modern disebut pula oleh
Harun Nasution disebut juga zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napo, leon yang
berakhir tahun 1801 membuka mata umat Islam, terutama Turki dan Mesir , akan
kemunduran dan kemunduran kelemahan umat Islam di samping kekuatan dan kemjuan
Barat. Ekspedisi Napoleon di Mesir memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan
membawa 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu. Ide-ide baru yang diperkenalkan
Napoleon di Mesir adalah sistem negara republik yang kepala negaranya dipilih
untuk jangka waktu tertentu, persamaan (egalite), dan kebangsaan (nation).[22]
Raja dan para pemuka Islam mulai
berpikir dan mencari untuk mengembalikan balance of power yang telah
membahayakan umat Islam. Di, mesir pembaruan di gagas dan dilakukan oleh para
pembaru diantaranya Rifa’ah al Badawi Rafi’ al- Tahtawi (1801-1873), yang
menjadi redaktur surat kabar al- Waqa’i al Mishriyyah, Jamaluddin al-afghani
(1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1865-1935).[23]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Karakteristik
Studi Islam terdiri dari Studi al-Qur’an, Studi Hadis,Studi Hukum Islam dan
Studi Sejarah Islam. Studi alqur’an meliputi ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum
Al-Qur’an) sedangkan Ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an antara lain Ulum
al-Qur’an dan Ilmu Tafsir. Karakteristik kedua yakni Studi Hadits,secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah
dan Ilmu Hadits Dirayah. Disamping itu terdapat ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan Hadits yaitu Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu al-Jarh wa
at-Ta’dil, Ilmu Tarikh ar-Ruwah, Ilmu I’lal al-Hadits, Ilmu an-Nasikh wa
al-Masukh, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Garib al-Hadits, Ilmu at-Tashif wa
at-Tahrif, Ilmu Talfiq al-Hadits, dan Ilmu Mushtalah wa al-Hadits.
Karakteristik
yang ketiga yakni Studi hukum Islam Secara
terperinci Atho’ Mudzhar membedakan studi hukum Islam sebagai penelitian hukum Islam sebagai
doktrin asaz, penelitian hukum Islam normative dan penelitian hukum Islam
sebagai gejala sosial. Karakteristik yang terakhir adalah
Studi sejarah Islam yang terbagi dalam tiga periode, yaitu periode klasik,
pertengahan dan modern.
B.
SARAN
Demikian makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Studi Islam. Semoga dapat menambah wacana Karakteristik Studi Islam.Kami
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memerlukan penyempurnaan. Oleh
karenanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak kami harapkan untuk
menyempurnakan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat dalam
membuka lebih jauh wawasan pengetahuan pembaca dalam studi Psikologi
Pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
ABD. Hakim,
Atang dkk. 2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: Rosda
Anwar, Rosihoh.
Ulum al-Qur’an. 2013. Bandung: Pustaka Setia.
Erlangga.
Hakim, Atang
Abd, dkk.2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ichwan, Mohammad
Nor. 2008. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Semarang: RaSAIL Media Group.
Juned, Daniel.
2010. Ilmu Hadist Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadits. Jakarta:
Nata, Abuddin.
2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Soebahar, H.M.
Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulisan Hadits Nabi. Semarang: Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo Semarang.
[1] Abuddin
Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 155.
[2]
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group,
2008), hal.4.
[3]
Rosihoh Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal. 209.
[4] Mohammad
Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008),
hal.7.
[5]
H.M. Erfan Soebahar, Periwayatan dan Penulisan Hadits Nabi, (Semarang:
FAKULTAS TARBIYAH IAIN WALISONGO SEMARANG, 2012), hal. 13-14.
[6]
Atang Abd Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam, ( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), hal. 84.
[7]
Atang Abd Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam, ( Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), hal. 87-88.
[8]
Daniel Juned, Ilmu Hadist Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadits, (Jakarta:
Erlangga, 2010), hal. 95.
[9]
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal.
193-194.
[10]Maftuhin, dkk., Nuansa Studi Islam, (Yogyakarta:
Teras, 2010), hlm 117
[11]Asnawi, Studi
Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012) hlm. 35- 40
[12] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011)
hlm. 336
[13] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda:
Bandung, 2011) hlm. 137
[14] Amin Syukur dkk, Metodologi Studi Islam, (Gunung jati: Semarang,
1998) hlm.129
[15] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011)
hlm. 339
[16] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda:
Bandung, 2011) hlm. 139
[17] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011)
hlm. 339-340
[18] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda:
Bandung, 2011) hlm. 144
[19] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda:
Bandung, 2011) hlm. 145
[20] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011)
hlm. 349
[21] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011)
hlm. 335
[22] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda:
Bandung, 2011) hlm. 147
[23] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda:
Bandung, 2011) hlm. 148