Rabu, 07 Januari 2015

MAKALAH KARAKTERISTIK STUDI ISLAM

KARAKTERISTIK STUDI ISLAM
Makalah
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu: Rikza Chamami, M. Si



Disusun Oleh:
Zulastri                                   (133911033)
Intan Khumairoh                  (133911039)
Nurul Jannah                        (133211041)
Hanif Mariatmoko                (133211042)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM WALISONGO
 SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan hak bagi setiap orang (Education for All) dan berlangsung sepanjang hayat (Long life Education). Karakteristik berasal dari bahasa inggris, character yang berarti watak, karakter, dan sifat. Selanjutnya kata ini menjadi characteristic yang berarti sifat khas yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Dalam bahasa Indonesia character berarti sifat yaitu rupa atau keadaan yang tampak pada suatu benda, atau kata yang menyatakan keadaan sesuatu seperti panjang, keras, dan besar.
Studi Islam secara bahasa merupakan terjemahan dari bahsa Arab Dirasah Islamiyyah. Studi Islam adalah kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan keislaman. Studi Islam dalam hal ini yaitu kajian secara sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam baik yang menyangkut sumber-sumber ajaran Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun realitas pelaksanaanya dalam kehidupan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi al-Qur’an?
2.      Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hadis?
3.      Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Hukum Islam?
4.      Bagaimana karakteristik studi Islam dalam Studi Sejarah Islam?



BAB II
                                                                PEMBAHASAN
A.    Karakteristik Studi Islam dalam Studi Al-Qur’an
Al-Qur’an diyakini tetap terpelihara seluruh isinya sepanjang zaman. Pemeliharaan ini dijamin Allah SWT dengan cara: Pertama, bahwa susunan ayat dan surat-suratnya walaupun mencapai lebih dari 6.000 ayat tetapi dapat dihafal bukan hanya oleh yang dapat melihat, melainkan juga tunanetra, bahkan anak di bawah umur. Melalui mereka yang diberikan kemudahan oleh Allah SWT ini, al-Qur’an akan terjaga. Hal ini menunjukka bahwa susunan ayat dan surat Qur’an tersebut mengandung keistimewaan dan makdus-maksud tertentu, antara lain untuk dihafal. Sifat susunan ayat dan surat al-Qur’an yang demikian tidak terjadi pada kitab suci lainnya. Kedua, bahwa lafal-lafalnya bersifat mukjizat, yakni selain tidak mungkin dapat dipalsukan, juga tidak dapat ditandingi manusia.
Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasul SAW yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada para sahabat tentang arti dan kandungan al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Setelah Rasul SAW wafat, para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami al-Qur’an khususnya mereka yang mempunyai kemampuan, seperti Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay buin Kaab, dan Ibn Mas’ud.[1] Seiring berjalannya waktu, maka muncullah para ulama yang mencoba memberikan rambu-rambu atau standar prosedur yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an. Para ulama itu menyusun apa yang disebut sebagai ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum Al-Qur’an). Ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an antara lain Ulum al-Qur’an dan Ilmu Tafsir.
1.      Ulum al-Qur’an
Secara Etimologis, Ulum al-Qur’an adalah susunan Idhafah yang terdiri dari kata ulum dan al-Qur’an yang berarti ilmu-ilmu al-Qur’an. Sedangkan secara Terminologi definisi Ulum al-Qur’an sangat bervariatif, tergantung dari aspek-aspek pembahasan ilmu-ilmu al-Qur’an yang ingin dimasukkan dalam definisinya itu. Menurut Manna’ al-Qathan, ilmu al-Qur’an adalah ilmu yang berkaitan dengan pembahasan yang berkenaan dengan al-Qur’an cari segi sebab-sebab turunnya, pengumpulan dan susunannya, mengenai ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah, ayat yang nasikh (yang menghapus) dan yang mansukh (yang dihapus), al- Muhkam (ayat yang tegas dan jelas), al-Mutasyabih (ayat yang tidak tegas dan tidak jelas), dan lainnya yang berkaitan dengan al-Qur’an.
Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefisikan Ulum al-Quran sebagai:
مباحث تتعلق بالقرأن الكريم من ناحية نزوله و ترتيبه و جمعه و كتابته وقرأته وتفسيره و إعجازه و ناسحه ومنسوححه ودفع ااشبهة عنه و نحو ذلك
“Pembahasan-pembahasan masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an al-Karim dari segi turunnya, urut-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, mukzijatnya, nasikh dan mansukhnya, dan penolakan/ bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur’an dan lain sebagainya”.
Dari definisi-definisi Ulum al-Qur’an diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa Ulum al-Qur’an adalah suatu ilmu yang lengkap dan mencangkup semua ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir, maupun berupa ilmu-ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rab al-Qur’an. Ulum al-Qur’an berbeda dengan suatu ilmu yang merupakan cabang dari Ulum al-Qur’an. Misalnya ilmu tafsir yang menitikberatkan pembahasannya pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Ilmu Qira’at menitikberatkan pembahasannya pada cara membaca lafal-lafal al-Qur’an. Sedang Ulum al-Qur’an  membahas al-Qur’an dari segala segi yang ada relevansinya dengan al-Qur’an.[2]



2.      Ilmu Tafsir
Kata Tafsir diambil dari kata Fassara-Yufassiru-Tafsira yang berarti keterangan atau uraian.[3] Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir  menurut pengertian bahasa Arab adalah al-Kasf wa al-Izhhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pada masa penyusunan ilmu-ilmu al-Qur’an yang dimulai sejak permulaan abad ke II H, para ulama memberikan prioritas menyusun tafsir, sebab tafsir adalah Ummul al-Qur’aniyah (Induk ilmu-ilmu al-Qur’an).[4] Diantara Ulama abad II H yang menyusun tafsir adalah:
a)      Syu’bah bin al-Hajjaj ( wafat tahun 160 H).
b)      Sufyan bin ‘Uyainah (wafat tahun 198 H).
c)      Waki’ bin al-Jonah (wafat tahun 197 H).
Tafsir mereka umumnya berisikan aqwal al-shahabah dan pendapat-pendapatt dari kalangan tabiin. Kemudian menyusul Ibnu Jarir al-Thabary (wafat 310 H). tafsir al-Thabary diakui sebagai kitab tafsir yang terbesar pada zamannya dan paling tinggi nilainya. Tafsir al-Thabary didalmnya dikemukakan oleh pengarangnya pendapat yang berbeda-beda dan ditunjukkannya satu pendapat yangf terpilih, disertai keterangan riwayat-riwayat (sumber-sumber) yang benar dan tersusun rapi, di lengkapi penjelasan-penjelasan I’rab dan hukum-hukum al-Qur’an yang dapat diistinbathkan.
Dari perkembangan kitb-kitab tafsir, sejak dimulai usaha penyusunan tafsir-tafsir al-Qur’an, sejak permulaan abad II H sampai sekarang, kita dapat mengetahui bahwa disamping ada ulama-ulama yang menafsirkan al-Qur’an dengan pola tafsir riwayah atau bi al-Manqul, ada yang menafsirkannya dengan pola tafsir dirayah atau bi al-Ra’yi bi al-Ma’qul. Demikian pula ada ulama yang menafsirkan al-Qur’an seluruhnya, ada yang menafsirkan satu juz atau satu surat saja, atau hanya tema-tema tertentu, misalnya ayat ahkam dan sebagainya.



B.     Karakteristik Studi Islam dalam Studi Hadis
Kedudukan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Dari sudut etimologi, hadits secara umum berarti sesuatu yang baru (al-jadid), lawan dari sesuatu yang lama (al-qadim). Secara terminologis Para ahli hadits mangartikan hadits sebagai adalah segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan, penetapan, sifat atau perilaku, perjalanan hidup, baik sebelum menjadi Nabi atau sesudahnya.[5]
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan, terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna Hadits Nabi yang artinya: ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya”.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli Hadits mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadits, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.[6]
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Al Qur’an, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan Al Qur’an. Diantara fungsi hadits yaitu:
1.    Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an.
2.    Menginterpretasi ayat-ayat al-Qur’an yang global (garis besar) yang memerlukan perincian.
3.    Mengkhususkan terhadap ayat-ayat yang bersifat umum (menyeluruh).
4.    Menetapkan aturan atau hukum yang tidak didapat di dalam al-Qur’an.[7]

Secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Kedua macam ilmu ini akan dijelaskan dibawah ini:
1.    Ilmu Hadits Riwayah
Adalah ilmu yang difungsikan pada upaya penukilan (penerimaan) yang teliti dan cermat terhadap semua yang bersumber dari Nabi berupa ucapan, perbuatan, taqrir, dan sifat-sifatnya, serta semua yang besumber dari sahabat dan tabi’in.[8]
2.    Ilmu Hadits Dirayah
Adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai dengan makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan. Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul) dan ditolak (mardud) nya suatu hadits.

Berikut ini ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Hadits;
1.    Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu ini sangat penting kedudukanya dalam lapangan ilmu Hadits. Hal ini karena, sebagaimana diketahui bahwa obyek kajian Hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal ini lahir bersama-sama dengan periwayatan Hadits dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan disekitar sanad.
Di antara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat adalah karya Muhammad ibn Sa’ad (w 9.230 H) yaitu Thabaqat Al-Kubra dan karya Khalifah ibn Ashfari (w 240 H) yaitu Thaqabat Al-Ruwwah, dan lain-lain.
2.    Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil        
Ilmu Al-Jarh, yang secara bahasa berarti “luka, cela, atau cacat”, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitanya. Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
a.       Popularitas para perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai seorang yang adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilanya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilanya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.      Berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi yang lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi lain yang belum terkenal keadilanya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatanya bisa diterima.
3.    Ilmu Tarikh ar-Ruwah
Ilmu tarikh ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadits yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap Hadits. Dengan ilmu ini akan diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahiranya, wafatnya, guru-gurunya, siapa orang   yang meriwayatkan Hadits darinya, dan lain-lain.
Sebagian dari ilmu Rijal Hadits, ilmu ini mengkususkan pembahasanya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Jadi ilmu tarikh ar-ruwah ini merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.
4.    Ilmu I’lal al-Hadits
Kata ‘ilal adalah bentuk jamak dari kata al-‘illah, yang menurut bahasa berarti al-maradh (penyakit atau sakit). Jadi I’lal hadits adala ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadits.   



5.     Ilmu an-Nasikh wa al-Masukh
Yang dimaksud dengan ilmu al-nasikh wa al-masukh disini, adalah terbatas disekitar nasikh dan mansukh pada Hadits. Kata al-naskh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izalah (menghilangkan.
Mengetahui ilmu ini sangat penting dalam ilmu Hadits ini. Bahkan menurut Al-Zuhri, ilmu inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha. Hal ini karena tigkat kesulitanya yang tinggi, terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari nas yang samar-samar.  Untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini bisa melakukan beberapa cara, seperti:
a.       Dengan penjelasan dari nash syari’ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul SAW.
b.      Dengan penjelasan dari para sahabat.
c.       Dengan mengetahui tarikh keluarnya Hadits serta sebab wurud Hadits. Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu mana yang datang kemudian.
6.      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya.
7.         Ilmu Garib al-Hadits
Menurut Ibnu Al-Shalah, yang dimaksud dengan Gharib Al-Hadits ialah ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan Hadits karena (lafazh tersebut) jarang digunakan.
Memahami makna kosa kata (mufradat) matan Hadits merupakan langkah pertama dalam memahami suatu Hadits dan untuk istinbath hukum. Oleh karena itu ilmu ini akan banyak menolong untuk menuju ke pemahaman tersebut. Ada beberapa cara untuk menafsirkan Hadits-Hadits yang mengandung lafazh yang gharib ini, di antaranya:
a.       Dengan Hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung lafazh gharib tersebut.
b.      Dengan penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan Hadits atau sahabat lain yang tidak meriwayatkanya, tapi paham akan makna gharib tersebut.
c.       Penjelasan dari rawi selain sahabat.
8.    Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashif wa at-tahrij, adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang Hadits-Hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf).
Al-Hafidz ibn Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian yaitu ilmu al-tashif dan ilmu al-tahrif. Sedangkan ibn Shalah dan para pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin ilmu yang bernilai tinggi, yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffazh). Hal ini disebabkan, karena dalam hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang diterimanya dari orang lain.
Suatu contoh, dalam suatu riwayat yang disebutkan bahwa salah seorang yang meriwayatkan Hadits dari Nabi SAW, dari bani Sulaimah adalah “Utbah ibn Al-Bazir, padahal yang sebenarnya adalah “Utbah bin Al-Nazhr”. Dalam Hadits ini terjadi perubahan sebutan Al-Nazhr menjadi Al-Bazr.
9.    Ilmu Talfiq al-Hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits yang berlawanan lahirnya.
10.                         Ilmu Mushtalah wa al-Hadits,
Yaitu ilmu yang membahas tentang berbagai istilah yang digunakan para ahli hadits dan yang dikenal dikalangan mereka.[9]
  1. Karakteristik Studi Islam dalam Studi Hukum Islam
a.                   Bentuk-bentuk Studi Hukum Islam
Mengacu kepada gejala studi Islam pada umumnya, maka hukum Islam juga dapat dipandang sebagai gejala budaya dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala budaya,sedangkan interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan masyarakat non-muslim disekitar hukum Islam adalah gejala sosial. Secara terperinci Atho’ Mudzhar membedakan studi hukum Islam sebagai berikut:[10]
1.      Penelitian Hukum Islam sebagai doktrin asaz,
Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual hukum Islam seperti masalah-masalah filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep maqashid al-shari’ah, qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-istinbat, konsep qiyas, konsep ‘am dan khas, konsep nasikh dan mansukh dan lain-lain.
2.      Penelitian Hukum Islam Normatif
Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih dalam bentuk nas maupun yang sudah menjadi produk pemikiran manusia (Mudzhar, 2000: 30). Aturan yang masih dalam bentuk nash meliputi ayat-ayat ahkam dan hadith-hadith ahkam, sedangkan kitab-kitab fiqih perbandingan, keputusan peradilan, undang-undang, fatwa ulama, dan bentuk aturan lainnya yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), konstitusu (dustur), kodifikasi, perjanjian-perjanjian Internasional, deklarasi hak-hak manusia, surat-surat kontrak, surat wasiat, kesaksian, dan sebagainya (Mudzhar, 1998: 91-93).
3.      Penelitian Hukum Islam sebagai gejala sosial
Sasaran utama dari penelitian ini adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan masalah-masalah interaksi antar sesama manusia, baik antara sesama muslim atau antara muslim dan non muslim di sekitar masalah-masalah hukum ini mencakup masalah-masalah politik (siyasah), perumusan dan penetapan hukum (siyasah al-shar’iyah), perilaku penegak hukum (qadhi), mujtahid, fuqaha, mufti dan lain-lain (Mudzhar, 2000: 30-35).
Hukum Islam dapat dipahami sebagai hukum asas, hukum normatif, dan sebagai hukum sosiologis.Karena itu pendekatan sosiologis dapat diterapkan dalm studi-studi hukum Islam seperti pada studi hukum Islam pada umumnya. Pendekatan sosiologis dalam hukum Islam mempunyai sasaran utama perilaku masyarakat atau interaksi antar sesama manusia, baik antara sesama mmuslim maupun antaea muslim dan non muslim disekitar masalah-masalah hukum Islam.
b.      Cara Memahami Sumber Hukum Islam
Sebenarnya dalam Al-quran ataupun Al-sunah sudah disebutkan mengenai tertib urutan pemakaian beberapa sumber dan dalil hukum yang ada, seperti disebutkan dalam Al-quran.
“wahai orang-orang yang beriman ta’atlah kamu semua kepada Allah, dan ta’atlah kepada rasul urusan Allah, dan orang yang menguasai urusan diantara kamu. Seandainya ada perselisihan diantara kamu tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya, jika kamu semua beriman kepada Allah dan hari akhir, hal demikian lebih baik bagimu dan lebih akibatnya.”
Dalil ini ditopang dengan hadits Nabi yang mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, dengan kesimpulan bahwa Mu’adz memutuskan perkara pertama kepada Al-quran, selanjutnya dengan As-sunah, kalau tidak ada dalam sunah Rosul, maka Mu’adz akan berijtihad dengan nalarnya. Untuk itu dapat diambil pemahaman bahwa dalam mencari fiqih seorang mujtahid akan memahami nas Al-quran atau Al-sunah, kemudian kalau tidak ada dalam keduanya mereka akan berijtihad dengan berbagai metode yang beragam mulai dengan ijma’, qiyas yang dalam katagori adilah al-ahkam. Untuk itu munculah istilah ijtihad, istidlal, istiqra’ dan sebagainya dalam rangka mencari pemahaman status hukum dari sebuah persoalan yang ditemui sehingga pada akhirnya akan menghasilkan fiqih.
Ilmu itu pada hakikatnya adalah dari Allah dan manusia diberi alat untuk mengetahuinya yakni akal dan indera. Al-Shatibi mengelompokkan empat bentuk pola pikir dalm memenuhi Nas, yaitu;[11]
a.      Pola pikir Zahiriyah
Mazhab ini dibidani oleh Dawud bin Ali Khalaf al-Asbahani al-Zahiri. Ia lahir di Kufah tahun 202 H dan wakaf di Baghdad tahun 270 H, dalm usia 68tahun. Menurut pola pikir kaum tekstualis maksud shara’ hanya dapat diketahui dari lafadz teks sebagaimana apa yang tersurat. Alasannya maksud shara’yang tertuang dalam redaksi nash menurut mereka masih misterius tanpa ada penjelasan dari nas itu sendiri. Untuk itu melalui firman-firman yang tertuang itulah kita dapat memahami nas.Berhubung kaum zahiriyah hanya berpegang pada lahirnya nas, maka tidak memerlukan bantuan pemahaman diluar nas didalam menetapkan hukum.
b.      Pola Pikir Batiniyah
Pola pikir batiniyah ini, sangat liberal dan tidak menggunakan kaidah umum sebagaimana yang terkandung dalam kajian ilmu usul al-fiqh.Seperti dalam penafsiran al-Quran begitu liberal dan batiniyah, tidak ada aturan apapun kecuali kehendak mereka. Kata kafir mereka artikan orang yang ingkar kepada ali bin abi thalib, taharat diartikan mengambil sesuatu yang diizinkan oleh imam, puasa berarti tidak membuka rahasia.
Karena corak tafsiran kaum batiniyah yang begitu liberal, tanpa menggunakan kaidah apapun layaknya  para mufasirun, takwilannya merusak al-Quran. Untuk itu menurut mereka segala persoalan hukum dapat ditemukan dalm ketiga sumber hukum yaitu al-Quran, al-Sunah dan ketiga adalah fatqwa imam mereka yang maksum.
c.       Pola Pikir Kontekstual
Pola pikir kontekstual menurut al-Shatibi adalah kaum al-muta’amiqin fi al-qiyas (kelompok yang amat gemar melakukan qiyas dan analogi).kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafadz dari pada lafadz itu sendiri. Doktrin yang mereka ajukan dalam memahami nash adalah mencari makna diseberang teks selagi hasil yang diperoleh tidak bertentangan dengan teks-teks tersebut, kecuali teks-teks tersebut bersifat mutlak. Sedangkan yang dimaksud mutlak lafadz adalah lafadz yang menunjukkan kesatuan makna yang utuh. Jika ada pertentangan teksnas dengan makna teks atas dasar nazariyah, kolompok kontekstualisme akan mengutamakan makna hasil penalaran dengan alasan demi tegaknya kemaslahatan, atau mencari makna baru karena tak kewajiban bagi mujtahid untuk tertahan pada pengambilan maksud nas secara tekstual. Hukum Allah itu ditegakkan karena adanya illat atau kemaslahatan bagi umat manusia.
d.      Gabungan Antara Tekstualis dan Kontekstualisme
Al-Shatibi menyatakan bahwa golongan pola pikir gabungan antara tekstualis dan kontekstualis merupakan golongan yang benar-benar matang intelektualisnya (rasikhun) dalam mengetahui maksud shara’.Ia sendiri menyatakan bahwa dirinya masuk golongan ini. Mereka menggabungkan antara yang tersurat dan tersirat dari makna teks adalah tidak bertentangan.Metode yang dikembangkan kelompok ini sama dengan kelompok kontekstulis yang salah satuwujud nyatanya adalah al-mutaamiqin fi al-qiyas dan zahiriyah dengan pendirian bahwwa shara’ (Tuhan dan Rosul) di dalam menshari’atkan hukum, apakah berhubungan dengan masalah adat atau istiadat, masing-masing mempunyai maksud yang asli (asliyat) dan maksud yang mendampinginya (tab’iyat).
Dari beberapa kajian dapat diambil beberapa pemahaman terhadap hukum islam, yaitu;
Ø  Sumber hukum yang pertama adalah al-quran dan al-sunah, kedua adalah ijtihad yang digunakan oleh para ahli hukum yang memahami beberapa dalil hukum yang terdiri dari ijma’, qiyas, maslaha, istihsan, istishab dan lain sebagainya
Ø  Cara kerja ilmu fiqih adalah menggali fiqih (hukum) dari sumbernya (al-Quran dan al-Sunah) kemudian kalau tidak ada maka akan ijtihad menggunakan dalil. Hanya saja para ahli usul berbeda-beda dalam pemahamannya.
Ø  Hasil penalaran ilmu fiqh menghasilkan berbagai macam aturan yang dapat mengatur kehidupan orang islam.
  1. Karakteristik Studi Islam dalam Studi Sejarah Islam
Terdapat berbagai teori yang menjelaskan tentang asal usul kata sejarah. Sebagian ada yang berpendapat, bahwa kata sejarah berasal dari bahasa arab “sajarah” yang berarti pohon. [12]Sejarah adalah terjemahan dari kata tarikh (bahasa arab), sirah (bahasa arab), history (bahasa inggris), dan geschichte (bahasa Jerman). Semua Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani, yaitu istoria berarti ilmu. [13]
Sedangkan secara terminologis banyak definisi tentang sejarah. Ibnu Khaldul misalkan menyatakan bahwa “sejarah ialah menunjuk kepada peristiwa-peristiwa istimewa atau penting pada waktu dan ras tertentu”. Sementara Al Maqrizi membatasi “sejarah” ialah memberikan informasi tentang suatu yang pernah terjadi di dunia.[14]
Selanjutnya kata Islam yang terdapat di belakang kata sejarah dapat mengandung beberapa pengertian. Pertama, mengandung arti segala sesuatu yang berkaitan dengan dengan Islam, yaitu ajaran, umat, kemajuan dan kemunduran, peran dan fungsi dan lain sebagainya. Kedua, mengandung arti sifat atau nilai yang harus berpegang teguh dalam mengkonstrusikan sejarah, yakni nilai kebenaran, kejujuran dan kegunaan, sebagaimana terdapat di dalam ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ketiga Pengertian tersebut dalam tulisan ini sama-sama digunakan yakni selain mengemukakan berbagai hal yang berkaitan dengan ajaran Islam, Juga berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Islam. Dengan demikian, Sejarah Islam dapat diartikan suatu upaya merekonstruksi perisriwa masa lalu secara komperhensif dan sistematis dengan menggunakan pendekatan dan teori tertentu dengan berdasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.[15]
1.      Periodisasi Sejarah
Menurut Harun nasution, bahwa sejarah Islam dapat dibagi ke dalam periode Klasik, Pertengahan, dan Modern. Masing-masing periode tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.      Periode Klasik (650-1250 M)
Pada periode klasik (650-1250) ini dibagi masa kemajuan Islam I dan Dissintegrasi.
a)      Masa Kemajuan Islam I (650-1000M)
Perkembangan Islam Klasik ditandai dengan perluasan wilayah.  Ketika tinggal di Mekkah, Nabi Muhammada SAW dan para pengikutnya yang mendapat tekanan dari kalangan Quraisy yang tidak setuju terhadap ajaran yang di bawa Nabi Muhammad SAW. Karena tekanan itu, Nabi Muhammad SAW terpaksa mengirim sejumlah pengikutnya ke Abesinia  yang beragama Kristen Koptis untuk mendapatkan suaka. Itulah fase Mekkah yang membuat Nabi SAW bertahan di Mekkah atas dukungan keluarga. [16]
Pada tahun 620M, Nabi muhammad SAW membuat persetujuan dengan sejumlah penduduk Yatsrib yang terkemuka yang membuat ia dan pengikutnya diterima dikalangan mereka. Di madinah, umat Islam, dikelompokkan menjadi dua: (1) umat Islam yang berasal dari Mekkah dan ikut berpindah ke Yatsrib, yang disebut Mihajirin dan (2) umat Islam yang berasal dari Madinah, yang menerima kedatangan umat Islam dari mekkah disebut Anshar. Peristiwa hijrah ditaggapi dengan berbagai pengikutnya. Setelah kedudukan Islam di Madinah menjadi kuat, umat Islam menentukan langkah berikutnya yaitu menaklukkan Mekah setelah sebelumnya melakukan perundingan yang hampir tanpa kekerasan (630M).
Setelah Nabi Muhammad SAW meninggal kemudian yang memerintah daulat Islamiyah adalah Khulafaur Rasyidin, bani Umayyah dan Abbas. Khulafaur Rasidin berkuasa mulai tahun 632-661M, atau kurang lebih selama 29 tahun, Bani Umayyah berkuasa mulai tahun 661 sampai dengan 750 M, atau kurang lebih selama 90 tahun, dan bani Abbas berkuasa mulai tahun 750-1250 M atau selama 500 tahun. Dengan demikian, masa klasik ini jika dijumlahkan berlngsung selama 600 tahun atau sekitar 6 abad.[17]
Para Khulafaur Rasyidin adalah Abu Bakar al- Shiddiq berkuasa selama kurang lebih dua tahun, yakni dari tahun 632-634 M, dilanjutkan oleh Umar Ibn Khattab yang berkuasa selama 10 tahun, yakni dari tahun 634-644 M, diteruskan oleh Usman bin Affan yang berkuasa selama 12 tahun, yakni dari tahun 644-656 M, dan Ali bin Abi thalib yang berkuasa selama kurang lebih lima tahun, yaitu dari tahun 656-661 M. Dengan demikian masa kekhalifahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun.
Akhir kekuasaan khulafaur Rasyidin ditandai dengan terpecahnya umat Islam menjadi dua kubu besar yaitu pendukung Ali bin Abi thalib dan pendukung Muawiyah bin Abi Sufyan yang ketika itu berkedudukan sebagai Gubernur Suriah.
b)      Masa Disintegrasi ( 1000-1250 M)
Menurut Harun Nasution, bahwa disintegrasi dalam arti perpecahan politik dan sulitnya mempersatukan dunia Islam yang demikian luas dalam sebuab pemerintahan yang berpusat di Baghdad, sesungguhnya sudah mulai terjadi pada akhir zaman bani umayyah, namun memuncak di zaman bani Abbas, terutama aetelah khalifah-khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara-tentara pengawal. 
Selanjutnya disintegrasi di bidang politik ditandai dengan adanya keinginan wilayah-wilayah yang jauh dari ibukota negara, yaitu Baghdad, untuk melepaskan diri. Dinasti-dinasti kecil sebenarnya sudah ada sejak abad IX M. Diantaranya Dinasti Samani (874-999M) di Transoxania, Dinasti Thahiri (820-872M) di Khurasan, Dinasti Thulun di Mesir, Dinasti Aghlabi (800-969M) di Tunisia, dan Dinasti Idrisi (788-974M) di Maroko. Munculnya keinginan daerah-daerah itu untuk melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad karena khalifah di Baghdad dibawah kendali Dinasti lain, yaitu dibawah Dinasti Buwaihi (945-1055M) dan Saljuk (1055-1199M). Disamping itu, Dinasti Fatimiah (909-1171). Yang beraliran Syi’ah di Mesir mengambil bentuk khilafah yang menjadi saingan Dinasti Bani Abbas di Baghdad. [18]
Disintegrasi mencapai klimaksnya dengan jatuhnya Dinasti Bani Abbas di Baghdad ke tangan Mongol yang di pimpin oleh Hulagu Khan pada tahun 1258.  [19]
b.      Periode Pertengahan
Periode ini dapat pula dibagi kedalam dua masa, yaitu Masa kemunduran I dan Masa Tiga Kerajaan Besar.[20]
a)      Masa Kemunduran I (1250-1500M)
Kemunduran umat Islam pada zaman pertengahan diawali dengan kehancuran Baghdad oleh Hulagu Khan (cucu Jengis Khan). Dari Baghdad, ia meneruskan serangan ke Suria dan Mesir. Tetapi di Mesir ia berhasil dipukul mundur oleh Baybars, jenderal Mamluk di Ain Jalut. Baghdad selanjutnya diperintah oleh Dinasti Ilkhan (gelar bagi Hulagu Khan)
Di Mesir, dinasti yang berkuasa silih berganti dan saling menjatuhkan. Dimulai dari Dinasti Fatimiah, yang beraliran Syiah, digantikan oleh Dinasti Ayubiah yang beraliran Sunni. Ayubiah di Mesir berakhir tahun 1250, digantikan oleh Dinasti Mamluk sampai tahun 1517.
Perpecahan juga terjadi di antara para pengikut madzhab fikih. Para ulama pengikut madzhab disibukkan dengan kegiatan pembelaan dan penguatan madzhab yang dianutnya, bahkan cenderung beranggapan bahwa madzhabnyalah yang paling benar. Hal ini mendorong semakin turunnya ijtihad dan akhirnya meninggalkan ijtihad. Akhirnya, fikih tidak berkembang. Yang berkembang adalah budaya ittiba’ dan taqlid.
b)      Tiga Kerajaan Besar (1500-1800M)
Ini berlangsung selama 300 tahun. Kerajaan itu adalah Kerajaan Turki Utsmani di Turki (1290-1924), Kerajaan Safawi di Persia (1501-1736), dan Kerajaan Mughal di India (1526-1858).
Berbeda dengan kemajuan Islam yang pertama sebagaimana sebagaimana yang terjadi di zaman Klasik, adalah bahwa kemajuan Islam kedua ini, Barat mulai bangkit terutama setelah terbukanya jalan ke pusat rempah-rempah dan bahan-bahan mentah di Timur Jauh, melalui Afrika Selatan dan ditemukannya Benua Amerika oleh Colombus (1492M). Namun demikian, kekuatan Barat dan Eropa lebih kuat dibandingkan kekuatan Islam.  Hal ini berbeda sekali dengan Kemajuan Islam I, dimana Barat dan Eropa belum bangkit sama sekali sehingga Kemajuan Islam II ini sudah mulai mendapat tantangan dari kemajuan Barat dan Eropa.[21]
c.       Periode Modern (Sejak 1800 M)
Periode modern disebut pula oleh Harun Nasution disebut juga zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napo, leon yang berakhir tahun 1801 membuka mata umat Islam, terutama Turki dan Mesir , akan kemunduran dan kemunduran kelemahan umat Islam di samping kekuatan dan kemjuan Barat. Ekspedisi Napoleon di Mesir memperkenalkan ilmu pengetahuan dengan membawa 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu. Ide-ide baru yang diperkenalkan Napoleon di Mesir adalah sistem negara republik yang kepala negaranya dipilih untuk jangka waktu tertentu, persamaan (egalite), dan kebangsaan (nation).[22]
Raja dan para pemuka Islam mulai berpikir dan mencari untuk mengembalikan balance of power yang telah membahayakan umat Islam. Di, mesir pembaruan di gagas dan dilakukan oleh para pembaru diantaranya Rifa’ah al Badawi Rafi’ al- Tahtawi (1801-1873), yang menjadi redaktur surat kabar al- Waqa’i al Mishriyyah, Jamaluddin al-afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1865-1935).[23]
                                                                                                        
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Karakteristik Studi Islam terdiri dari Studi al-Qur’an, Studi Hadis,Studi Hukum Islam dan Studi Sejarah Islam. Studi alqur’an meliputi ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum Al-Qur’an) sedangkan Ilmu bantu untuk memahami al-Qur’an antara lain Ulum al-Qur’an dan Ilmu Tafsir. Karakteristik kedua yakni Studi Hadits,secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah. Disamping itu terdapat ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Hadits yaitu Ilmu Rijal al-Hadits, Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu Tarikh ar-Ruwah, Ilmu I’lal al-Hadits, Ilmu an-Nasikh wa al-Masukh, Ilmu Asbab Wurud al-Hadits, Ilmu Garib al-Hadits, Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif, Ilmu Talfiq al-Hadits, dan Ilmu Mushtalah wa al-Hadits.
Karakteristik yang ketiga yakni Studi hukum Islam Secara terperinci Atho’ Mudzhar membedakan studi hukum Islam sebagai penelitian hukum Islam sebagai doktrin asaz, penelitian hukum Islam normative dan penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial. Karakteristik yang terakhir adalah Studi sejarah Islam yang terbagi dalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan dan modern.

B.     SARAN
Demikian makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Studi Islam. Semoga dapat menambah wacana Karakteristik Studi Islam.Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memerlukan penyempurnaan. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak kami harapkan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat dalam membuka lebih jauh wawasan pengetahuan pembaca dalam studi Psikologi Pendidikan.


DAFTAR PUSTAKA
ABD. Hakim, Atang dkk. 2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: Rosda
Anwar, Rosihoh. Ulum al-Qur’an. 2013. Bandung: Pustaka Setia.
Erlangga.
Hakim, Atang Abd, dkk.2011. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ichwan, Mohammad Nor. 2008. Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Semarang: RaSAIL Media Group.
Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadist Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadits. Jakarta:
Nata, Abuddin. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
Soebahar, H.M. Erfan. 2012. Periwayatan dan Penulisan Hadits Nabi. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.





[1] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 155.
[2] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hal.4.
[3] Rosihoh Anwar, Ulum al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal. 209.
[4] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), hal.7.
[5] H.M. Erfan Soebahar, Periwayatan dan Penulisan Hadits Nabi, (Semarang: FAKULTAS TARBIYAH IAIN WALISONGO SEMARANG, 2012), hal. 13-14.
[6] Atang Abd Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 84.
[7] Atang Abd Hakim, dkk. Metodologi Studi Islam, ( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 87-88.
[8] Daniel Juned, Ilmu Hadist Paradigma Baru dan Rekontruksi Ilmu Hadits, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal. 95.
[9] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, ( Jakarta: Kencana, 2011), hal. 193-194.
[10]Maftuhin, dkk., Nuansa Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm 117
[11]Asnawi, Studi Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012) hlm. 35- 40
[12] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 336
[13] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung, 2011) hlm. 137
[14] Amin Syukur dkk, Metodologi Studi Islam, (Gunung jati: Semarang, 1998) hlm.129
[15] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 339
[16] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung, 2011) hlm. 139

[17] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 339-340
[18] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung, 2011) hlm. 144

[19] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung, 2011) hlm. 145

[20] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 349
[21] Abuddin Nata, Studi Islam Komperhensif, (kencana: Jakarta, 2011) hlm. 335
[22] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung, 2011) hlm. 147
[23] Atang ABD. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi studi Islam ( Rosda: Bandung, 2011) hlm. 148

1 komentar:

  1. Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack - JamBase
    Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack. This 전라북도 출장샵 Chester, PA 화성 출장안마 casino 김제 출장샵 is 동해 출장안마 a Chester, 김제 출장마사지 PA gaming and entertainment complex.

    BalasHapus